Latihan di Kem PULADA

Latihan di Kem PULADA
Showing posts with label Keluarga. Show all posts
Showing posts with label Keluarga. Show all posts

Friday, July 25, 2008

Hak Suami Dalam Islam

Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh ku bersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku…

Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya. Bagaimana tidak, sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain1niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya2. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”3 (HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:
Pertama: Ditaati dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah no. 181)
Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya adalah adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar suami memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’5 diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan dalil haramnya seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si istri pada bagian atas izarnya6. Makna hadits di atas adalah laknat terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj, 9/249)
Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari, 9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf, hal. 175-176)

Kedua: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)

Ketiga: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)

Keempat: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)

Kelima: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh7.” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)

Keenam: Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka8.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala9, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Sujud kepada sesama makhluk.
2 Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”
4 Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
5 Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
6 Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
7 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
8 Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu: “Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu) membawakan hadits ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)
9 Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.

Tanggungjawab anak berbakti kepada ibu

'SYURGA itu di bawah tapak kaki ibu.’ Begitulah tingginya martabat ibu dan dalamnya makna kata-kata berkenaan yang sangat sinonim serta mudah difahami setiap orang, terutama anak.

Banyak lagi kata mengenai martabat seorang ibu antaranya, ‘cinta ibu tidak pernah lapuk’, ‘cinta ibu adalah yang paling baik daripada segalanya’ dan ‘di sisi ibu adalah tempat yang paling ahlan.’ Semuanya membuktikan kemurnian cinta ibu.

Anak perlu sentiasa mengingati pengorbanan ibu. Mereka boleh memohon maaf kepada ibu yang masih ada serta memberikan hadiah bersesuaian kepada ibu yang mereka kasihi dan sayangi.

Justeru, wanita diamanahkan Allah s.w.t sebagai ibu yang hamil dan melahirkan anak iaitu tanggungjawab paling asas dan penting.

Persediaan untuk menjadi ibu mesti difahami sepenuhnya oleh anak betapa besarnya jasa dan pengorbanan ibu.

Memang patutlah Allah menyuruh kita taat kepada ibu tiga kali lebih daripada bapa disebabkan jasa ibu lebih banyak.

Walaupun bapa juga banyak berkorban untuk membesarkan anak, tetapi pengorbanan ibu hingga menggadai nyawanya.

Antara firman Allah bermaksud: “Dan Kami (Allah) mewajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu bapanya. Ibunya mengandungnya dengan menanggung kelemahan demi kelemahan (dari awal mengandung hingga menyusukannya); dan tempoh menceraikan susunya ialah dalam masa dua tahun; (oleh yang demikan) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapamu; dan (ingatlah) kepada Akulah jua tempat kembali (untuk menerima balasan).” (Surah Al-Luqman: 14)

Daripada firman itu, Allah memperincikan beberapa perkara yang wajib disedari iaitu anak diwajibkan berbuat baik kepada ibu bapa, terutama kepada ibu.

Ibu juga menanggung kelemahan demi kelemahan ketika mengandung hingga anak bercerai susu. Manusia juga wajib bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada ibu bapa.

Faktor yang penting dalam berbuat baik kepada ibu bapa ialah anak jangan sesekali menyakiti hati mereka. Ingatlah kepada sebuah hadis Rasulullah s.a.w bermaksud: “Syurga itu di bawah tapak kaki ibu.” (Hadis riwayat Abu Daud dan An-Nasai)

Anak perlu melaksanakan kewajipan dan tanggungjawabnya kepada ibu bapa dengan menjaga dan melayani mereka yang tua dan uzur.

Gunakanlah bahasa yang lemah lembut dan bersopan dengan mereka.

Tanggungjawab anak terhadap ibu bapa boleh dilakukan dengan berbuat baik kepada mereka dengan berbakti dan berkhidmat kepada kedua-duanya sewaktu mereka masih hidup iaitu ketika sihat atau sakit atau sesudah meninggal dunia.

Firman Allah maksudnya: “Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa jua dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa.” (An-Nisa:36)

Seseorang anak tidak hanya dituntut melayani dan menghormati ibu bapa sekadar berbudi bahasa, malah digalakkan memberi sumbangan kewangan bagi meringankan beban kehidupan mereka.

Inilah hadiah yang paling bermakna daripada seseorang anak yang dilakukan sepanjang masa.

Anak juga digalakkan berdoa dan memohon keampunan terhadap dosa ibu bapa ketika waktu hidup atau setelah meninggal dunia.

Selain itu, mereka dituntut menunaikan amanah dan melaksanakan wasiat serta segala hutang piutang sewaktu masih hidup sama ada berkaitan dengan ibadat fardu ain seperti ibadat puasa, haji dan zakat.

Digalakkan juga mengerat dan menghubungkan silaturahim dengan sahabat dan teman baik ibu bapa ketika hidup atau selepas mereka meninggal dunia.

Seorang anak hendaklah sentiasa berhati-hati dan waspada ketika berkata-kata dan perbuatan supaya jangan sampai menyakiti hati ibu bapa, terutama sekali ibu.

Ketika memelihara ibu atau bapa yang tua dan uzur, seseorang anak hendaklah bersikap sabar dan tabah.

Memang tidak dapat dielakkan pelbagai perangai dan ragam mereka yang tidak menyenangkan, termasuk pemarah, meminta layanan baik dan menyucikan najisnya.

Semuanya ini adalah ujian dan dugaan yang menuntut kesabaran dan balasannya adalah syurga.

Dalam hubungan ini, Rasulullah pernah bersabda bermaksud: “Tidaklah seseorang anak itu membalas jasa ibu bapanya sehingga apabila mendapati ibu bapanya itu menjadi hamba orang, maka dibelinya dan dimerdekakanya.” (Hadis riwayat Muslim daripada Abu Hurairah)

Doa untuk bayi yang baru lahir

Allah berfirman:...Aku melindungi dia dengan peliharaan-Mu, demikian juga zuriat keturunannya daripada godaan syaitan yang kena rejam (yang dikutuk dan disingkirkan). (ali-‘Imran: 36)

Keterangan ayat:

Hinnah Faquza, isteri Imran sewaktu telah lanjut usianya melihat seekor burung memberi makan kepada anaknya. Terlintas dalam fikirannya untuk mendapat anak. Dia bernazar kepada Allah jika mendapat anak lelaki akan disuruh memberi khidmat kepada Baitulmaqdis.

Allah memakbulkan doanya tetapi dikurniakan anak perempuan. Lazimnya, tanggapan umum kepada anak lelaki ialah fizikalnya lebih hebat untuk menjaga rumah suci itu.

Walaupun begitu, bayi ini adalah anugerah Allah yang wajib disyukuri. Tambahan pula ia adalah bayi perempuan yang sempurna dan cantik. Nama yang diilhamkan oleh Allah untuk diberikan ialah Mariam yang bermakna kuat ibadat dan khidmatnya untuk Allah.

Ia juga dinamakan dengan keyakinan akan menjadi wanita yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah.

Munajatnya kepada Allah ialah ayat di atas,...memohon kasih-Nya agar dijaga Mariam dan keturunannya daripada syaitan yang dilaknat.

Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah bersabda, “setiap anak yang dilahirkan akan diganggu oleh syaitan melainkan Mariam kerana doa yang dibacakan oleh ibunya itu”.

Khasiat dan kaifiat beramal:

Amalkanlah membaca doa ini kepada anak yang baru dilahirkan untuk mendapat perlindungan Allah. (Tafsir al-Khazin, tafsir ayat 36 surah ali-‘Imran)

Menggapai Kesabaran Dalam Keluarga

Pada zaman Khalifah Al-Manshur, salah seorang menterinya, Al-Ashma'i, melakukan perburuan. Kerana terlalu asyik mengejar haiwan buruan, dia terpisah dari kelompoknya dan tersesat di tengah padang sahara.

Ketika rasa haus mulai mencekiknya, di kejauhan dia melihat sebuah khemah. Terasing dan sendirian. Dia memacu kudanya ke arah sana dan menemukan penghuni yang memukau; wanita muda dan jelita. Dia meminta air. Wanita itu berkata, "Ada air sedikit, tetapi aku persiapkan hanya untuk suamiku. Ada sisa minumanku. Kalau engkau ingin, ambillah".

Tiba-tiba wajah wanita itu tampak berwaspada. Dia memandang kepulan debu dari kejauhan. "Suamiku datang," katanya. Wanita itu kemudian menyiapkan air minuman dan kain pembersih. Lelaki yang datang itu lebih mudah disebut "manusia kasar". Seorang tua yang jelek dan menakutkan. Mulutnya tidak henti-hentinya mengherdik isterinya. Tidak satu pun perkataan keluar dari mulut perempuan itu. Dia membersihkan kaki suaminya, menyerahkan minuman dengan khidmat, dan memimpinnya dengan mesra masuk ke khemah.

Sebelum pergi, Al-Ashma'i bertanya, "Engkau muda, cantik, dan setia. Kombinasi yang jarang sekali terjadi. Mengapa engkau korbankan dirimu untuk melayani lelaki tua yang berakhlak buruk".

Jawapan wanita itu mengejutkan Al-Ashma'i, "Rasulullah bersabda, agama itu terdiri dari dua bahagian: syukur dan sabar. Aku bersyukur kerana Allah telah menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan perlindungan. Ia membimbingku untuk berakhlak baik. Aku telah melaksanakan separuh agamaku. Kerana itu, aku ingin melengkapi agamaku dengan separuhnya lagi, yakni bersabar."

Empat Bidang Kesabaran

Kesabaran dapat melahirkan keajaiban. Salah satunya tergambar dalam kisah di atas. Dengan kesabaran, wanita cantik tadi mampu berbakti kepada suaminya yang berakhlak buruk. Sesuatu yang terkadang sukar dicerna oleh rasional.

Tidak diragukan lagi, kesabaran adalah satu tiang penting dalam pernikahan setelah lurusnya niat. Kekal tidaknya sebuah pernikahan sangat ditentukan oleh seberapa jauh tingkat kesabaran yang dimiliki suami isteri. Makin banyak bekal kesabaran yang dimiliki, maka akan makin kukuh pula bangunan pernikahan yang dijalani. Tapi makin sedikit kesabaran yang dimiliki, maka makin besar pula kemungkinan hancurnya sebuah pernikahan.

Demikian pentingnya sabar dalam pernikahan, ada orang mengatakan; "Bila sebelum nikah kesabaran kita hanya satu, maka setelah nikah kesabaran kita harus seratus." Persoalannya, kesabaran bagaimanakah yang harus kita miliki dalam menjalani pernikahan?

Ada Empat Macam Bidang Kesabaran

Pertama :

Sabar menghadapi kekurangan pasangan. Pernikahan adalah kesimpulan terakhir setelah seseorang mempertimbangkan semua kekurangan dan kelebihan pasangan. Tidak pada tempatnya bila setelah menikah seorang suami mengeluhkan kekurangan yang ada pada isterinya. Demikian pula sebaliknya. Masing-masing harus menerima kekurangan atau kelebihan pasangannya dengan penuh kesabaran. Pernikahan adalah perantaraan untuk saling melengkapi, bukan untuk saling mengalahkan.

" Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu (bermula) dari diri yang satu (Adam) dan yang menjadikan daripada (Adam) itu pasangannya (isterinya iaitu Hawa) dan juga yang membiakkan dari keduanya zuriat keturunan, lelaki dan perempuan yang ramai dan bertakwalah kepada Allah yang kamu selalu meminta dengan menyebut-nyebut namaNya, serta peliharalah hubungan (silaturahim) kaum kerabat; kerana sesungguhnya Allah sentiasa memerhati (mengawas) kamu. "

QS An-Nisaa' : 1

Salah satu hakikat sabar dalam pernikahan adalah menghilangkan keluh kesah pada saat tidak enaknya menghadapi segala kekurangan. Tidak ada keluh kesah selain pada Allah SWT. Kerana itu, Rasulullah SAW mengingatkan bahawa sesiapa sahaja yang menikah kerana ketampanan atau kecantikan, maka satu saat rupa tersebut akan menghinakannya. Kecantikan dan ketampanan itu sementara sifatnya, tidak kekal. Ketika belum menikah, pasangan kita begitu cantik, tapi setelah mempunyai anak maka kecantikan itu akan semakin menurun untuk kemudian hilang sama sekali setelah tua. Tanpa adanya kesabaran, sebuah rumahtangga tidak akan bertahan lama.

Kedua :

Sabar menghadapi godaan. Rumahtangga itu laksana perahu. Untuk mencapai pula kebahagiaan di syurga, perahu itu harus belayar mengharungi luasnya samudera masalah. Indahnya pernikahan analog dengan indahnya pantai. Namun jangan lupa, sesiapa sahaja siapa yang bertolak dari pantai untuk menyeberangi lautan, maka ia akan menemukan ganasnya ombak. Sesiapa saja yang tidak membawa bekal dan persiapan yang matang, tidak mustahil bahtera rumahtangganya akan karam ditelan gelombang.

Nikah adalah ikatan yang teramat suci lagi kuat, mitsaqan ghalidza, sehingga jangan dinodai dengan saling menyakiti. Dalam Al-Quran, kata mitsaqan ghalidza dipakai untuk menyebutkan ikatan antara Allah dengan RasulNya. Tidak akan pernah sukses seorang suami yang sering menyakiti isterinya. Walau awalnya bergelimang harta, sukses dalam kerjaya, tetapi pada suatu saat ia akan menemui kehancuran. Begitu pula seorang isteri yang tidak taat dan selalu menyakiti suaminya, hidupnya tidak akan berkah dan bahagia.

Kerana itu, suami isteri harus mempunyai komitmen untuk saling setia. Inilah hakikat mitsaqan ghalidza. Sehingga, menjaga tali pernikahan agar tetap kukuh adalah jihad akbar. Arasy' tidak akan bergoncang saat seseorang meninggalkan shaum wajib, tidak akan bergoncang saat seseorang lalai dalam sholat, namun ia akan bergoncang tatkala sepasangan suami isteri memutuskan untuk bercerai.

Pernikahan itu menandai bersatunya darah daging suami dan isteri. Kerana sudah bersatu, maka tidak mungkin lagi ada rahsia. Syurga boleh terbuka kerana pernikahan, dan neraka pun boleh terbuka lebar kerana pernikahan. Orang yang menyayangi isteri atau suaminya, mereka akan disayangi Yang Maha Penyayang. Rasulullah SAW bersabda;

" Orang-orang yang kasih sayang (al-rahimun) akan dikasih sayangi oleh yang Maha Kasih Sayang (Al-Rahman). Kerana itu kasih sayangilah manusia dibumi maka Dia yang di langit akan kasih-sayang kepadamu".

Ketiga :

Sabar menghadapi kekurangan dan keterbatasan rezeki . Berapa pun rezeki yang kita dapat , kita harus mampu mensyukurinya . Dengan syukur itulah Allah akan menolong rumahtangga kita dan melipat gandakan rezeki yang kita dapatkan . Allah SWT berfirman ;

" Sesungguhnya jika kamu bersyukur , pasti Kami akan menambah ( nikmat) kepadamu , dan jika kamu mengingkari ( nikmatKu), maka sesungguhnya azabKu sangat pedih "

QS Ibrahim : 7

Keempat :

Sabar menghadapi keluarga dari pihak suami atau isteri. Dalam sebuah hadith, Rasulullah SAW mengungkapkan bahawa pernikahan itu mengawali bertemunya dua keluarga besar . Kerana pertemuan dua keluarga, maka yang nikah bukan aku , tetapi kami . Berkaitan dengan hal ini , Imam Syafi 'i menganjurkan agar orang tua memilihkan jodoh untuk anaknya , dengan catatan anaknya harus saling mencintai .

Sesiapa pun yang akan menikah, maka ia harus sedia mempunyai dua ayah dan dua ibu . Ia pun harus bersedia menghurmati mertua sebagaimana menghurmati kedua orangtuanya.

"Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu (bermula) dari diri yang satu (Adam) dan yang menjadikan daripada (Adam) itu pasangannya (isterinya iaitu Hawa) dan juga yang membiakkan dari keduanya zuriat keturunan, lelaki dan perempuan yang ramai dan bertakwalah kepada Allah yang kamu selalu meminta dengan menyebut-nyebut namaNya, serta peliharalah hubungan (silaturahim) kaum kerabat; kerana sesungguhnya Allah sentiasa memerhati (mengawas) kamu."

QS Az-Zumar : 10

Sabar adalah sebuah kenescayaan. Kerana itu, dalam QS Az-Zumar Ayat 10, Allah SWT menjanjikan pahala luar biasa bagi orang yang sabar. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Wallahua'lam.

Kesihatan

Asthma


Asthma is a chronic condition involving the respiratory system in which the airways occasionally constrict, become inflamed, and are lined with excessive amounts of mucus, often in response to one or more triggers. These episodes may be triggered by such things as exposure to an environmental stimulant such as an allergen, environmental tobacco smoke, cold or warm air, perfume, pet dander, moist air, exercise or exertion, or emotional stress. In children, the most common triggers are viral illnesses such as those that cause the common cold.

This airway narrowing causes symptoms such as wheezing, shortness of breath, chest tightness, and coughing. The airway constriction responds to bronchodilators. Between episodes, most patients feel well but can have mild symptoms and they may remain short of breath after exercise for longer periods of time than the unaffected individual. The symptoms of asthma, which can range from mild to life threatening, can usually be controlled with a combination of drugs and environmental changes.

Pathophysiology


In asthma, constriction of the airways occurs due to bronchoconstriction and bronchial inflammation. Bronchoconstriction is the narrowing of the airways in the lungs due to the tightening of surrounding smooth muscle. Bronchial inflammation also causes narrowing due to oedema and swelling caused by an immune response to allergens.

Inflamed airways and bronchoconstriction in asthma. Airways narrowed as a result of the inflammatory response cause wheezing.

Emergency


When an asthma attack is unresponsive to a patient's usual medication, other treatments are available to the physician or hospital:

  • Oxygen to alleviate the hypoxia (but not the asthma itself) that results from extreme asthma attacks.
  • Nebulized salbutamol terbutaline (short-acting beta-2-agonists), often combined with ipratropium (an anticholinergic).
  • Systemic steroids, oral or intravenous (prednisone, prednisolone, methylprednisolone, dexamethasone, or hydrocortisone). Some research has looked into an alternative inhaled route.
  • Other bronchodilators that are occasionally effective when the usual drugs fail:
    • Intravenous salbutamol
    • Nonspecific beta-agonists, injected or inhaled (epinephrine, isoetharine, isoproterenol, metaproterenol)
    • Anticholinergics, IV or nebulized, with systemic effects (glycopyrrolate, atropine, ipratropium)
    • Methylxanthines (theophylline, aminophylline)
    • Inhalation anesthetics that have a bronchodilatory effect (isoflurane, halothane, enflurane)
    • The dissociative anaesthetic ketamine, often used in endotracheal tube induction
    • Magnesium sulfate, intravenous
  • Intubation and mechanical ventilation, for patients in or approaching respiratory arrest.
  • Heliox, a mixture of helium and oxygen, may be used in a hospital setting. It has a more laminar flow than ambient air and moves more easily through constricted airways.

Epidemiology


Asthma is usually diagnosed in childhood. The risk factors for asthma include:

  1. A personal or family history of asthma or atopy
  2. Triggers (see Pathophysiology above)
  3. Premature birth or low birth weight
  4. Viral respiratory infection in early childhood
  5. Maternal smoking
  6. Being male, for asthma in prepubertal children
  7. Being female, for persistence of asthma into adulthood

History


Asthma was long considered a psychosomatic disease, and
... during the 1930s–50s, was even known as one of the 'holy seven' psychosomatic illnesses. At that time, psychoanalytic theories described the aetiology of asthma as psychological, with treatment often primarily involving psychoanalysis and other 'talking cures'. As the asthmatic wheeze was interpreted as the child's suppressed cry for his or her mother, psychoanalysts viewed the treatment of depression as especially important for individuals with asthma